البحث

عبارات مقترحة:

السيد

كلمة (السيد) في اللغة صيغة مبالغة من السيادة أو السُّؤْدَد،...

العفو

كلمة (عفو) في اللغة صيغة مبالغة على وزن (فعول) وتعني الاتصاف بصفة...

الأعلى

كلمة (الأعلى) اسمُ تفضيل من العُلُوِّ، وهو الارتفاع، وهو اسمٌ من...

MASJID & PENGARUHNYA DALAM DUNIA PENDIDIK

الأندونيسية - Bahasa Indonesia

المؤلف Shalih Ghanim Al-Sadlan ، Muhammad Khairuddin
القسم كتب وأبحاث
النوع نصي
اللغة الأندونيسية - Bahasa Indonesia
المفردات الآداب - آداب المسجد
Menjelaskan tentang Kedudukan & Peranan Masjid Dalam Islam, serta Tugas Universalnya bagi Kemaslahatan Dunia & Akhirat, Urgensi Masjid & Keterikatannya dengan Masyarakat Muslim, Masjid merupakan Media Implementasi Amal dalam rangka mengajak kepada Iman & Amal Soleh, Pendidikan, Pembudayaan, Pembinaan dan Penyuluhan.

التفاصيل

Kedudukan & Peranan Masjid Dalam Islam, serta Tugas Universalnya bagi Kemaslahatan Dunia & Akhirat Urgensi Masjid & Keterikatannya dengan Masyarakat Muslim [3] Masjid merupakan Media Implementasi Amal  dalam rangka mengajak kepada Iman & Amal Soleh, Pendidikan, Pembudayaan, Pembinaan dan Penyuluhan [5] Shalat Berjama’ah di Masjid & Pengaruhnya pada Pendidikan dan Penyuluhan [6] Peranan Ceramah dalam Pendidikan, Pengkaderan, Pembudayaan, dan Penyuluhan [8] Pelajaran-Pelajaran di Masjid & Peranannya dalam Pembudayaan, Penyuluhan dan Penanaman Pembinaan Iman [9] Peranan Perpustakaan Masjid  dalam Pembudayaan dan Penyebaran Ilmu Pengetahuan [10] Pengaruh Keimanan dan Pendidikan dari Peran Masjid 1. Saling Mengenal dan Persaudaraan Islami 2. Mendalami Pengetahuan Agama dan Mengadili kasus-kasus pertikaian [11] 3. Menggagalkan Perbuatan Keji Dan Akibat Buruknya Bagi Masyarakat Muslim [15] DAFTAR PUSTAKA  Kedudukan & Peranan Masjid Dalam Islam, serta Tugas Universalnya bagi Kemaslahatan Dunia & AkhiratSegala puji bagi Allah Ta’ala semata. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tiada nabi setelahnya, juga kepada seluruh keluarga dan sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum. Amma ba’du :Masjid merupakan rumah Allah, tempat dimana manusia menyembah-Nya dan mengingat nama-Nya. Pengunjung di dalamnya adalah orang yang memakmurkannya, dan merupakan sebaik-baik bidang tanah Allah di muka bumi ini, sebagai menara petunjuk, serta corong agama. Ia adalah majelis dzikir, mihrabnya ibadah, menaranya pengajaran ilmu dan pengetahuan pokok-pokok syari’at. Bahkan ia merupakan lembaga pertama yang menjadi titik tolak penyebaran ilmu dan pengetahuan di dalam Islam !!! Mengenai keutamaan masjid dan keagungan kedudukannya, maka terdapat banyak teks-teks agama (an-nushush) mengenai hal tersebut, diantaranya adalah :Firman Allah Ta’ala :وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً ﴿18﴾ سورة الجن“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS.72:18).Allah Subhanahu wa Ta’ala –sebagai Pemilik segala sesuatu- menyandingkan masjid-masjid kepada-Nya. Penyandaran masjid kepada-Nya merupakan pemuliaan dan mengagungan terhadapnya. Dan masjid bukanlah kepunyaan siapapun, melainkan Allah semata. Sebagaimana halnya dengan ibadah yang telah dibebankan oleh Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, maka tidaklah diperkenankan untuk dialihkan pelaksanaannya selain kepada-Nya saja.          Dalil lainnya, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.“Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah-rumah Allah (masjid). Mereka membaca al-Qur`an dan saling mempelajarinya (bersama-sama) di antara mereka, melainkan (akan) turun ketenangan atas mereka, mereka akan diliputi rahmat, dan para Malaikat (hadir) mengelilingi mereka, serta Allah menyebutkan (nama-nama) mereka di hadapan (para Malaikat) yang berada di sisi-Nya.”[1]Diantara dalil lain yang menunjukkan kedudukan masjid di sisi Allah Ta’ala, bahwa yang memakmurkannya baik secara material dan imaterial, hanyalah makhluk Allah Ta’ala pilihan, yaitu dari kalangan para Nabi dan Rasul, serta para pengikut-pengikut mereka dari orang-orang yang beriman, Allah Ta’ala berfirman :وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿127﴾ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿128﴾ سورة البقرة“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’.” (QS. 2:127-128).Dan firman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid-Nya :إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ ﴿18﴾ سورة التوبة“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 9:18).Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan kepada siapa saja yang membangun masjid di muka bumi ini yang dilandasi dengan niat karena Allah Ta’ala semata, maka Allah Ta’ala akan membangunkan rumah baginya di surga. Sebagaimana dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ كَهَيْئَتِهِ فِي الْجَنَّةِ.‘Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, (niscaya) Allah akan membangunkan baginya yang semacamnya di dalam surga’.”[2]Jika masjid dikehendaki memainkan peranan-peranannya, maka dimungkinkan untuk menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain, yang pada akhirnya akan mewarnai kehidupan masyarakatnya, dengan celupan islami yang pernah mewarnai komunitas masyarakat pertama di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan generasi awal dari kalangan para sahabat dan tabi’in Radhiyallahu ‘Anhum dan zaman-zaman kecemerlangan Islam.Sudah selayaknya lembaga-lembaga ini saling bekerjasama dengan masjid di bidang penyuluhan dan pembudayaan. Dan lembaga-lembaga ini bekerja secara menyeluruh dan terprogram rapi, sehingga menghasilkan produk muslim yang soleh.  Sesungguhnya peran masjid dalam realitasnya, merupakan bagian integratif bersama peran-peran lembaga-lembaga lainnya di dalam masyarakat. Dari masjidlah, lembaga-lembaga ini menjalankan kegiatan-kegiatannya yang mengurai berbagai belitan, serta berpartisipasi dalam merajut kehidupan masyarakat.Sesungguhnya masjid masih tetap menjalankan peranannya yang agung ini selama berabad-abad, dan berlangsung hingga saat ini dimana umat Islam yang secara internal berada pada tingkatan “buih lemah yang mengapung”. Sementara secara ekstrenal, kekuatan jahat, kezaliman secara terang-terangan memaklumatkan permusuhan dan peperangan atas umat Islam. Peranan masjid menjadi melemah dan terkulai, mata airnya mengering, terjadi di hampir kebanyakan negeri-negeri Islam !!! Demikian itu disebabkan kelengahan, kedustaan dan niat-niat buruk sebagian mereka kepada yang lainnya.Ditengah-tengah kondisi yang terpuruk ini, dan ditengah-tengah kelompok-kelompok yang bertujuan untuk mencukur masjid dari misi dan tugasnya di dalam masyarakat. Ruh Islam tidak pernah pudar, bahkan ia terus mengalir di setiap pembuluh darah dunia Islam dengan aliran yang alami dan tenang. Lalu mendorongnya kepada Islam, dengan dorongan yang berkesinambungan. Lalu hasil dari ini semua, terbangunnya kesadaran dan terjadinya kebangkitan yang penuh keberkahan. Masjid mulai mempersiapkan dirinya untuk menjalankan perannya sebagai pemandu masyarakat muslim dalam pengarahan, pendidikan dan pembinaan. Sebagai sel-sel hidup yang mengalir dengan gerakan dan pelayanan, untuk melaksanakan perannya dan menjalankan kewajibannya bersama dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti di rumah, sekolah, barak-barak militer, dan taman-taman bermain ... dsb, (dengan) bahu membahu bersama-sama di medan penyadaran dan penyuluhan.Dan ceramah ini, berusaha untuk menjelaskan tentang daya pengaruh masjid, dengan tajuk “Masjid & Pengaruhnya dalam dunia Pendidikan”, yang merupakan upaya sederhanaku yang telah aku persiapkan menyangkut apa yang aku ketahui mengenai peran cerdas masjid. Juga sebagai kontribusi bersama Departemen Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan di kesempatan yang berharga bagi kami, yaitu berlalunya 100 (seratus) tahun berdirinya Kerajaan Saudi Arabia, sambil bermohon kepada Allah Ta’ala agar berkenan memberikan petunjuk atas langkahnya dan menetapkan jalannya, sesungguhnya Dia Maha mendengar dan Maha mengabulkan. Urgensi Masjid & Keterikatannya dengan Masyarakat Muslim [3]          Masjid memiliki urgensi yang besar dan kedudukan yang agung dalam masyarakat Islam. Al-Qur`an al-Karim telah menegaskan kedudukan masjid dan ganjaran bagi orang yang yang menyibukkan dirinya dalam memakmurkan masjid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ ﴿36﴾ رِجَالٌ لاَّ تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَ بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ ﴿37﴾ سورة النور“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.” (QS.24:36-37).Dan firman-Nya yang lain :إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ﴿18﴾ سورة التوبة“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. 9:18).Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا.“Bagian negeri-negeri yang paling disenangi oleh Allah adalah masjid-masjid-nya, dan bagian negeri-negeri yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasarnya.”[4]Hal yang mesti dari masjid, bahwa di dalamnya dapat mencairkan dan membebaskan jiwa-jiwa dari ikatan-ikatan duniawi, nafsu pendapatan dan jabatan, rintangan-rintangan arogansi dan egoisme, mabuk syahwat dan nafsu. Kemudian jiwa-jiwa tersebut bertemu dalam halaman penghambaan yang sesungguhnya kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh kejujuran dan keikhlasan.          Sesungguhnya satu rakaat yang dilakukan kaum muslimun di salah satu rumah Allah, dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, dapat membenamkan ke dalam jiwa-jiwa mereka akan hakikat-hakikat kesetaraan kemanusiaan, memunculkan rasa cinta dan persaudaraan, yang tidak dapat dilakukan oleh berpuluh-puluh buku yang mengajak kepada kesetaraan dan berbicara mengenai falsafah manusia teladan.           Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memulai pembangunan masyarakat islami di Madinah Munawwarah dengan cara memakmurkan masjid. Memaklumatkan bahwa hal itu merupakan pondasi dan penopang pertama untuk mendirikan masyarakat ini. Sehingga jika kemakmuran masjidnya ini telah sempurna dan kaum muslimin telah meresponnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengikat hati-hati kaum muslimin dalam naungannya, dengan tali persaudaraan karena Allah. Bagi mereka, masjid merupakan sebaik-baik jaminan untuk mencapai hal tersebut, dan merupakan kenikmatan yang paling besar dibanding kesibukan-kesibukan dunia, dan berbagai fitnah hawa nafsu lainnya !!           Sesungguhnya kaitan masjid dengan masyarakat sangatlah kuat. Lebih dari sekedar seorang berdiri untuk mengerjakan shalat lima fardhu dalam sehari semalam, kemudian ia mengunci pintunya setelah itu. Sehingga hubungannya menjadi terputus dengan kaum muslimin dengan segala urusannya. Tidak, tidaklah demikian!!! Sesungguhnya sebagai sebuah lembaga, ia memiliki pengaruh sebagaimana yang telah kami sebutkan terhadap jiwa-jiwa manusia, dan  efek yang telah kami jelaskan dalam mendidik mereka. Sudah menjadi keharusan untuk menjadikan kerekatan masjid terhadap situasi dan kondisi masyarakat menjadi kerekatan yang interaktif, kokoh dan kontinue. Masjid merupakan Media Implementasi Amal  dalam rangka mengajak kepada Iman & Amal Soleh, Pendidikan, Pembudayaan, Pembinaan dan Penyuluhan [5]          Masjid adalah institusi pertama yang menjadi titik tolak penyebaran ilmu dan pengetahuan dalam Islam, dan dia membawa kekhususan yang asasi dinisbatkan kepada masyarakat muslim. Ia merupakan sumber tolakan pertama untuk dakwah Islam, dan juga sebagai sumber mata air petunjuk Rabbani. Maka pada langitnya, menjulang tinggi dakwah kepada iman dan amal shalih. Melalui mimbarnya, diajarkan iman dan amal shalih. Di hamparan buminya yang suci, ditunaikan amal shalih. Dan ia menjadi pusat dimana prinsip jihad yang agung bergerak mengelilinginya. Juga sebagai poros dimana segala pemikiran dan perasaan menyelubung di seputarnya. Tempat pengemblengan yang memunculkan kebangkitan dan orang-orang komit yang membawa penyulut-penyulut cahaya dan hidayah, mereka menjelajahi penjuru dunia membawa sifat, aroma dan kesucian masjid.          Sesungguhnya masjid sepanjang sejarah kaum muslimin berkedudukan sebagai institusi pendidikan untuk anak kecil dan orang dewasa. Dan tempat pertama yang merealisasikan target-target kerja nyata yang bertujuan untuk mendidik manusia secara umum, khususnya bagi anak-anak dan para pemuda. Tokoh-tokoh perintis yang membawa panji dan meneriakan panggilan kepada yang bersungguh-bersungguh, mereka adalah singa-singa masjid dan para pemakmur rumah-rumah Allah Ta’ala, dimana para ‘ulama (pakar ilmu agama), fuqaha’ (pakar hukum islam), bulaqha’ (pakar bahasa aab), nubala` (para cendikiawan) merupakan sebaik-baik lulusannya.Syaikul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Masjid merupakan tempat berkumpulnya umat dan para pemimpinnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membangun masjidnya (masjid Quba) yang penuh keberkahan itu di atas dasar takwa. Di dalamnya terdapat aktifitas shalat, membaca al-Qur`an, dzikir, majelis taklim, ceramah. Demikian pula aktifitas bidang politik, akad sumpah, panji pasukan, instruksi pemimpin, dan merupakan corong publikasi bagi para pengambil kebijakan. Di sanalah kaum muslimin berkumpul tiap kali ada perkara yang menghimpun mereka mengenai urusan-urusan agama dan dunia mereka.”Setuju, bahwa kedudukan masjid dalam masyarakat Islam menjadi sumber pengarahan ruhani dan materi. Sebagai halaman untuk ibadah, madrasah ilmu dan balai etika. Ia juga mencairkan dan membebaskan jiwa-jiwa dari ikatan-ikatan duniawi, nafsu pendapatan dan jabatan, rintangan-rintangan arogansi dan egoisme, mabuk syahwat dan nafsu. Kemudian jiwa-jiwa tersebut bertemu dalam halaman penghambaan yang sesungguhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Shalat Berjama’ah di Masjid & Pengaruhnya pada Pendidikan dan Penyuluhan [6]Hal yang pasti bahwa misi masjid di dalam Islam, menjadikan prioritas pertamanya pada pembinaan ruhani. Shalat berjama’ah dan membaca al-Qur`an al-Karim merupakan aktifitas yang mendapatkan pahala yang besar dan ganjaran yang banyak ..... Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘Anhu, berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا أَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاَّهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ“Shalat seseorang secara berjama’ah dilipatgandakan dua puluh lima kali daripada shalatnya di rumah dan tempat bisnisnya. Demikian itu, jika ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian keluar menuju masjid, tidak ada (motivasi) yang mengeluarkannya kecuali (untuk) shalat. (Maka) tidaklah ia mengayunkan langkahnya, melainkan dengan langkah tersebut derajatnya ditinggikan, dan dihapuskan kesalahannya. Kalaulah ia telah mengerjakan shalat, para malaikat (masih) tetap bershalawat (mendoakan) kepadanya, selama ia tetap berada di tempat shalatnya, “Ya Allah ampunilah ia, Ya Allah rahmatilah ia.” Seorang tetap (terhitung) dalam shalat, selagi ia menunggu shalat berikutnya.”[7]          Diantara tugas-tugas masjid di bidang Pendidikan yang terpenting, adalah membiasakan kaum muslimin untuk senantiasa berkomitmen dalam berjama’ah dan terikat erat dengannya. Hal ini dilakukan berulang-ulang kali dalam sehari, dimana seorang muslim merasakan betapa pentingnya bersama-sama dengan ikhwan (saudara-saudara)nya dalam menunaikan syi’ar-syi’ar agama mereka, dan mereka dalam hal ini berada dalam kedudukan yang sama (egaliter) -ibarat gigi-gigi sisir- saat berdiri di hadapan Zat Yang Mengadakan dan Membentuk Rupa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka mereka adalah orang-orang yang egaliter, bertauhid, dan bersatu padu. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia telah memotivasi kita untuk gandrung pergi ke masjid-masjid, serta selalu konsisten dalam berjama’ah. Juga mengajarkan kita bahwa setiap langkah yang diayunkan menuju masjid, menyebabkan derajat terangkat dan kesalahan terhapuskan. Siapa pun dari kaum muslimin yang menaruh perhatian yang demikian itu, dan tidak tergopoh-gopoh saat menuju ke “pembersih besar (baca: shalat, pent)” ini yang  mensucikan dari dosa-dosa secara langsung setiap hari, sehingga tidak tersisa sedikit pun dari kotoran-kotorannya.            Di dalam masjid, sesungguhnya kaum muslimin merasakan persaudaran Islam (ukhuwwah al-Islam) dan komunitas penegak shalat. Masyarakat ini dikendalikan oleh cinta, ketulusan dan keharmonisan. Mereka merupakan masyarakat yang berusaha mencari tahu keadaan saudaranya yang tidak hadir, dan bersikap elok terhadap yang hadir, saling membantu sebagian mereka dengan sebagian yang lainnya. Dan pertemuan kaum muslimin ini, terjadi lima kali dalam sehari di masjid. Jiwa-jiwa mereka mendapatkan santapan ruhani dengan al-Qur`an, dan terbina dengan iman. Membawa mereka kepada kesabaran terhadap hal yang menyakitkan, berjabatan tangan secara elegan, menundukkan nafsu, serta meningkatkan keimanan dan kepasrahan mereka. Peranan Ceramah dalam Pendidikan, Pengkaderan, Pembudayaan, dan Penyuluhan [8]Khutbah (ceramah) masih menjadi sarana-sarana efektif yang paling banyak digunakan dalam penyebaran dakwah Islam. Dimana sesungguhnya ia memposisikan dirinya dalam Islam sebagai sentra istimewa dalam hal penyebaran dan penyampaian dakwah kepada manusia, sejak awal risalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mulai. Rahasianya bahwa khutbah secara umum dan hingga saat ini merupakan  sarana yang paling efektif dalam penyebaran dakwah, sosialisasi pemikiran dan penjelasan-penjelasannya untuk bisa sampai kepada sebanyak-banyaknya kalayak dari berbagai lapisan dan tingkatan. Sementara itu juga, ceramah (khutbah) merupakan sarana yang paling cepat memberikan pemahaman secara umum dan sangat mempengaruhi masyarakat luas, dan ia memiliki efek langsung dan kecepatan dalam menyampaikan suatu pemikiran secara umum.Karenanya, sudah seyogyanya bahwa khutbah jum’at bertujuan untuk mencapai beberapa sasaran di bawah ini :Menasehati dan mengingatkan akan Allah Ta’ala dan hari akhir dengan pengertian-pengertian yang dapat menghidupkan hati, dan mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran.Pendalaman pemahaman dan pengajaran kepada kaum muslimin mengenai hakikat-hakikat agama mereka yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sambil memproteksi kesalamatan aqidah kaum muslimin dari segala khurafat, keselamatan ibadah mereka dari segala bid’ah, dan keselamatan akhlaq dan adab mereka dari segala penyelewengan dan penyimpangan.Mengoreksi segala pemahaman yang salah mengenai Islam, dan mecounter segala subhat dan kebatilan yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk mengacaukan pola pikir kaum muslimin, dengan cara yang elegan, bijak dan jauh dari caci makian dan celaan, serta menghadapi pemikiran-pemikiran yang destruktif dengan memaparkan Islam yang orijinal.Mengaitkan khutbah dengan kehidupan dan realitas yang dialami banyak orang, serta memberikan terapi dari berbagai penyakit sosial, dan menghadirkan solusi dari segala problematika berdasarkan syariat islamiyah yang elok.Memberikan perhatian terhadap momentum-momentum islami, seperti ramadhan, haji. Demikian pula dengan berbagai musibah, dan lain sebagainya yang menyebabkan audiensi menjadi antusias  kepada pengetahuan yang dapat mencerahkan jalan urusan bagi mereka. Memperkokoh pengertian ukhuwah al-islam (persaudaraan Islam) dan persatuan umat. Memerangi pertikaian dan fanatisme golongan dan aliran, dan perkara-perkara lainnya yang dapat memecah belah persatuan umat, dan fokus terhadap segala yang dapat mengeratkan seorang muslim, secara pikiran dan emosional terhadap saudara-saudaranya sesama kaum muslimin. Menghidupkan ruh jihad dalam diri umat Islam dan mengobarkan gelora semangat jihad, untuk menjaga kehormatan Islam, kesucian dan bumi Islam. Sudah sepatutnya bahwa khutbah jum’at harus steril dari kepentingan yang bersifat pribadi, atau untuk dijadikan sebagai alat penyebaran propaganda. Khutbah yang disampaikan harus berdasarkan keikhlasan karena Allah Ta’ala dan kepentingan agama Allah, menyampaikan ajakan kepada-Nya dan untuk meninggikan kalimat-Nya. Allah berfirman :وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً ﴿18﴾ سورة الجن“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS.72:18).Karenanya menjadi keharusan bagi para ulama dan da’i yang kompeten agar meletakkan contoh-contoh yang baik untuk tajuk-tajuk islami yang beraneka ragam, sehingga menjadi bahan materi bagi para khatib supaya mereka terbantukan dalam mempersiapkan materi-materi khutbah mereka. Sebagaimana materi  khutbah juga harus berdasarkan literatur-literatur yang dikenal, islami, terpercaya, dan jauh dari hadits-hadits yang lemah (dha’if), palsu (maudhu’), kisah-kisah isra`iliyat yang manipulatif, hikayat-hikayat dusta dan gaya bahasa yang dibenci, dan setiap yang tidak dapat diakui oleh prosedur penyaduran yang shahih atau akal sehat. Pelajaran-Pelajaran di Masjid & Peranannya dalam Pembudayaan, Penyuluhan dan Penanaman Pembinaan Iman [9]Sesungguhnya kehadiran masjid dengan model eksistensinya yang dikehendaki Allah Ta’ala, sebagaimana dahulu di zaman Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para khalifah ar-rasyidin, bahwa pengaruh yang paling signifikan dari eksistensi masjid adalah penyebaran ilmu di antara para penegak shalat dan selain mereka. Karena orang yang shalat yang terbiasa datang ke masjid-masjid untuk memakmurkannya dengan aktifitas ibadah, taklim, dzikir, membaca al-Qur`an, maka tiada waktu yang berlalu dari usianya melainkan diisi dengan berbagai aktifitas belajar, baik yang berkenaan dengan urusan-urusan agama maupun dunia, diantaranya mengenai pelajaran al-Qur`an, as-sunnah, tafsir, fikih, dan lain sebagainya.Ini yang diperoleh oleh orang yang hanya sekedar mendengar di dalam majelis-mejelis ilmu yang diselenggarakan di masjid. Apalagi jika ia seorang penuntut ilmu yang komit dalam mengikuti halaqah-halaqah ilmu. Di tanganya kitab, pena, kertas. Ia membaca dan mendengar penjelasan syaikhnya sebagai pengajar baginya dan bagi santri-santri lainnya, sambil duduk melingkar di seputarnya. Maka terbentuklah satu halaqah (majelis ilmu) saja, setelah pada tahun-tahun yang sebelumnya terdapat banyak halaqah di dalam satu masjid. Karena setiap halaqah memiliki syaikh-syaikhnya sendiri. Inilah rahasia munculnya banyak ulama yang luas keilmuannya di abad-abad pertama yang menjadi imam-imam di seluruh bidang pengetahuan. Sesungguhnya orang yang shalat dapat mengambil manfaat dari halaqah-halaqah masjid dan dapat menularkannya kepada yang lainnya. Sehingga seorang pengasuh keluarga dapat mengajarkan keluarganya dengan apa yang dipelajarinya, demikian pula dengan seorang sahabat yang mengajarkan rekannya, seorang musafir (pelancong) ke luar negeri untuk tujuan bisnis atau tujuan lainnya, dapat belajar diantara penduduk pribumi negara yang dikunjunginya. Seorang penuntut ilmu lulusan dari almamater masjid tersebut, jika ia berpindah ke negeri lain, maka ia menyebarkan ilmunya di negeri tersebut melalui masjidnya, ini kalau ada masjidnya. Jika belum ada, maka ia akan mendorong warga muslim sekitarnya untuk membangun masjid, dan menyelenggarakan halaqah di dalamnya untuk proses belajar dan mengajar. Demikianlah anda mendapati ilmu tersebar di setiap keluarga dan di setiap kampung, bahkan di setiap negeri tanpa hambatan apapun.Kelebihan lainnya, bahwa para peserta didik di masjid-masjid dapat mencapai peringkat istimewa di bandingkan dengan selain mereka, di sebabkan adanya beberapa faktor yang mendorong mereka untuk belajar lebih banyak daripada selain mereka.Kelihatannya hal inilah menjadi jalan –yaitu investasi masjid- dalam penyebaran Islam di banyak negara di kawasan Internasional saat itu, di antaranya ke Indonesia, Filipina, Jepang, di Timur hingga Afrika, sampai Samudera Atlantik bagian Barat, dan di tengah-tengah Eropa, begitu pula di bagian barat dan utaranya. Di masa-masa yang saat itu belum ada perguruan tinggi, dan tidak pula sekolah-sekolah –kecuali dalam jumlah uang terbilang langka- selain hanya masjid, dengan lemahnya sarana transportasi dan sedikitnya kemampuan materi saat itu. Sementara orang-orang sedang menaruh perhatian yang serius terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai urusan-urusan agama mereka.Adapun sekarang, telah banyak berdiri perguruan-perguruan tinggi, mahasiswanya beribu-ribu, dan tiap masyarakat negeri-negeri islami memiliki duta-dutanya, sebagian mereka mengirim da’i-da’inya. Namun hal demikian itu, kita dapati efek pengaruh yang tidak sampai pada tingkat perintis, dan tidak pula pada tingkat yang mengharuskan mereka untuk berkorban dengan harta dan kesungguhan mereka. Peranan Perpustakaan Masjid  dalam Pembudayaan dan Penyebaran Ilmu Pengetahuan [10]          Dahulu masjid sebagai taman pengetahuan pertama di dalam kehidupan kaum muslimin, benar-benar menjadi madrasah yang menyenangkan dan perguruan tinggi pendalaman ilmu, namun disamping itu sebagai taman pengetahuan dimana umumnya kaum muslimin mendapatkan pelajaran pertama mereka di sana, lalu pemahaman mereka bertambah luas dan berlimpah pengetahuan mereka, sehingga mereka menjadi kaum yang memiliki pondamen, popularitas, pemahaman, kesadaran, pengetahuan di tingkat puncak keilmiahan dan spesialisasi di berbagai disiplin ilmu agama dan dunia.          Masjid merupakan liga pertemuan kaum muslimin yang mempersiapkan setiap orang dari mereka untuk mendapatkan pengetahuan islam secara umum. Sebagaimana diselenggarakannya halaqah-halaqah pengajaran (majelis ilmu) untuk para penuntut ilmu di tingkat dasar dan tingkat tinggi sekalipun. Mencangkup seluruh kelompok, seperti dua sayap untuk pembelajaran. Sayap satunya bagi pria dan sayap lainnya bagi perempuan. Maka berdirilah institusi-institusi pendidikan dan kegiatan penelitian ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu di dalam pelataran masjid. Setelah agama ini mampu meningkatkan sumber daya manusia dan kapabilitas intelektualnya, keimanan juga turut berperan menumbuhkannya, mensucikannya, dan mengarahkannya. Di dalam kemegaan fisik masjid-masjid jami’ terdapat perpustakaan, dimana para ulama mewakafkan buku-buku karya mereka di dalamnya. Sebagaimana para khalifah kaum muslimin dan para hakimnya saling berlomba mengumpulkan berbagai buku-buku untuk ditempatkan di dalamnya.           Para ahli sejarah yang meriwayatkan bahwa perpustakaan-perpustakaan barbagai masjid, balai, sekolah, tempat-tempat konsultasi dan ilmu, menjadi sumber literatur bagi para penuntut ilmu dan ulama serta penulis. Dan ini merupakan sebaik-baik bukti mengenai apresiasi kaum muslimin terhadap buku, dan perhatian mereka kepada perpustakaan, serta tingkat tingkat penerimaan dan antusias mereka yang responsif terhadap usaha pembentukannya. Bahkan para khalifah dan amir saling berlomba-lomba dalam membeli buku-buku dan mewakafkannya kepada para penuntut ilmu. Seperti yang dilakukan oleh Qadhi Ibnu Haiyan yang mendirikan “rumah ilmu” -tepatnya di samping sebuah masjid di negeri Nisabur- beserta lemari buku-buku dan dilengkapi dengan asrama-asrama penginapan untuk para pendatang asing dari kalangan para penuntut ilmu, sekaligus menyediakan anggaran perbekalan, serta membantu semua kebutuhan mereka.           Transfer periwayatan menjadi animo kaum muslimin yang kuat saat itu, khususnya para penuntut ilmu. Di masjid-masjid dimana mereka duduk dalam halaqah-halaqah yang sebagiannya dihadiri ribuan para penuntut ilmu, diantaranya adalah Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu dari kalangan generasi pertama yang mengadakan halaqah-halaqah ini di negeri Syam, dimana jumlah murid-murid beliau mencapai 1600an lebih.          Berdasarkan hal tersebut, mungkin kita dapat berilustrasi dan membayangkan bentuk perpustakaan masjid-masjid yang rak-raknya telah dipenuhi dengan berbagai buku, manuskrip, dan informasi bergambar dari berbagai bahasa, warna dan negara. Sebagaimana kita juga dapat membayangkan keadaan masjid-masjid, betapa diramaikan dengan beribu-ribu kaum muslimin dari kalangan penuntut ilmu. Dimana diantaranya ada yang sedang duduk menyimak ustadznya di sebuah halaqah, atau ada bahkan ada yang bertanya. Atau ada yang sedang bersandar sambil membaca buku, atau ada yang sedang melakukan penelitian dengan menyelidiki manuskrip yang berusaha dipahaminya. Bukankah ini merupakan suatu gambaran yang langka dan indah, untuk masyarakat yang gaung perkembangannya sampai pada tingkatan kebangkitan ilmiah, dengan keutamaan bunga api agama yang disulut oleh pohon keberkahan ini? Maka bersinarlah pijar-pijar ilmu beserta cabang-cabangnya secara berkilauan dan gemerlap nan elok. Pengaruh Keimanan dan Pendidikan dari Peran Masjid 1. Saling Mengenal dan Persaudaraan Islami          Sesungguhnya at-ta’aruf (saling mengenal) merupakan bagian dari prinsip-prinsip adab islami. Bahkan ia termasuk kebutuhan mendesak dalam berinteraksi di tengah-tengah manusia. Seorang tetangga membutuhkan tetangganya, dan tidak mungkin salah seorang dari mereka dapat bergaul dengan yang lainnya, kecuali jika keduanya saling berkenalan terlebih dahulu. Setiap orang pasti membutuhkan orang lain. Maka bagaimana orang lain dapat bergaul dengannya tanpa di dahului dengan ta’aruf (aktifitas saling berkenalan) terlebih dahulu di antara keduanya? Allah berfirman Ta’ala:يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿13﴾ سورة الحجرات“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.49:13).          Dan masjid dapat menjamin menghadirkan penjajakan pengenalan persaudaraan dan keimanan yang tiada terlupakan. Hal tersebut karena orang-orang yang shalat di masjid biasanya berada dalam satu komplek perumahan yang sama, dan kebanyakan mereka tidak bertemu di masjid, kecuali saat menunaikan shalat fardhu. Dan jika majelis taklim di masjid menjadi faktor yang merekatkan mereka di adakan, maka sesungguhnya pertemuan di antara mereka itu, terbilang lebih banyak lagi intensitasnya. Belum lagi pada moment shalat dua hari raya, dan shalat jum’at serta lain sebagainya. Sesungguhnya penduduk warga yang berdomisili di kompleks perumahan yang sama itu, mereka dalam jangka waktu yang singkat, sudah dapat saling mengenal disebabkan intensitas tatap muka dan jabatan tangan sebagian mereka dengan sebagian yang lainnya, serta pertemuan mereka pada majelis-mejelis ilmu bersama dengan ulama-ulama mereka, dan demikianlah keadaannya.          Namun ta’aruf di antara kaum muslimin, bukanlah sekedar mengetahui nama personal, nama ayah, gelar, dan profesinya semata. Sesungguhnya yang dikehendaki adalah lebih daripada itu, yaitu menguatkan unsur-unsur ukhuwah imaniyah (persaudaran keimanan) yang memuat seluruh aktifitas yang dapat menguatkannya, seperti rasa cinta, saling berkunjung, saling berhubungan, menjengut yang sakit, menghadiri undangan, membantu orang yang lemah dan membutuhkan, menyebarkan salam, muka yang berseri dan perkataan yang baik, rendah hati, menerima kebenaran, pemaaf, dermawan, menolak keburukan dengan yang lebih baik, mengutamakan orang lain, berbaik sangka, menolong orang yang terzhalimi, menutupi aib saudaranya yang muslim, mendidik orang yang bodoh, berbuat baik kepada tetangga, menghormati tamu, menunuaikan hak-hak kepada yang berhak, memberikan nasehat kepada setiap muslim, dan kesemuanya ini titik tolaknya adalah baitullah (masjid).           Juga dengan menjauhkan diri dari setiap hal yang melemahkan ikatan persaudaraan keimanan (ukhuwah imaniyah), dari sikap kesewenang-wenangan, hasad, menyepelekan, mengejek, ghibah, adu domba, memboikot, memutuskan silaturahmi, dan sikap-sikap yang dapat menimbulkan keraguan dan kerisauan terhadap saudaranya yang muslim. Bersaing yang tidak sehat di beberapa urusan duniawi yang disyariatkan, seperti membeli barang yang telah dibeli, berpidato saat ada ceramah, berbohong dan berdusta.          Sungguh pemaknaan-pemaknaan yang agung ini dari ukhuwah imaniyah dan mengambil segala unsur yang dapat memperkuatnya, serta menjauhkan segala faktor yang dapat melemahkannya, kesemuanya eksis dalam gambaran yang paling tertinggi saat kita melihat masjid dengan eksistensinya yang paling tinggi dalam bentuk peranannya di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan di zaman para kepemimpinan khulafa’ur rasyidin. Dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kala itu mengikat tali persaudaraan pertama, yaitu mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar yang dinaungi oleh masjid mereka yang mulia. Persaudaraan mereka diikat dengan dua kalimat persaksian (syahadatain), mereka dipersatukan debawah panji jihad di jalan Allah, sampai-samapai salah seorang dari anshar bertekad untuk menurunkan sebagian harta yang dimilikinya dan salah seorang istrinya yang ditalak untuk diserahkan kepada saudaranya dari kalangan muhajirin. Sehingga tiadalah dari kalangan Muhajirin melainkan mengatakan kepada orang-orang Anshar :بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ“Semoga Allah menganugerahi keberkahan atasmu, keluargamu dan hartamu.” HR. Al-Bukhari.          Demikian keadaan ahlul masjid (para pemakmur masjid). Maka dimana tingkat pengenalan kaum muslimin saat ini? Realitanya, ada seorang tetangga yang tinggal berdampingan dengan tetangganya yang lain, atau di depannya. Keduanya keluar pada waktu yang bersamaan untuk keperluan aktifitas keduanya, dan keduanya pulang ke rumahnya masing-masing pada waktu yang bersamaan pula, terkadang mereka bertemu di lift yang sama, keduanya turun dan naik. Terkadang seorang dari keduanya tidak memberikan salam kepada yang lainnya. Terkadang salah seorang dari mereka memberikan salam, namun yang lainnya tidak menjawabnya. Terkadang dijawab, namun ia membelakanginya, tidak melihat senyum saudaranya. Terkadang ada yang meninggal dunia hingga sudah dikafani, sementara ia tidak mengetahuinya. Terkadang ada yang keduanya berada dalam satu institusi yang sama, namun salah seorang dari keduanya tidak mengenal yang lainnya. Maka dimana ta’aruf al-masjid (nilai perkenalan masjid)mu, wahai Umat Islam ??!! 2. Mendalami Pengetahuan Agama dan Mengadili kasus-kasus pertikaian [11]Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk di dalam sebuah masjid dan para sahabatnya Radhiyallahu ‘Anhum bertanya kepadanya, kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan hukum beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid sudah umum diketahui dan masyhur. Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya secara mu’allaq (Bab. Orang yang menetapkan dan memutuskan hukum di masjid)[12], kemudian berkata : “Umar menetapkan keputusan hukum saat di Mimbar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Demikian pula dengan Syuraih, asy-Sya’bi dan Yahya bin Ya’mar yang menetapkan keputusan hukum di dalam masjid. Juga Marwan menetapkan hukum atas Zaid bin Tsabit di Yaman saat di atas mimbar. Pernah al-Hasan dan Zurarah bin Aufa yang keduanya menetapkan keputusan hukum saat di Rahbah, di luar masjid.           Kemudian kembali ia berkata, “Bab Orang yang memtuskan hukum di dalam masjid.” Dan menyampaikan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata :أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعًا قَالَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ“Seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau sedang berada di dalam masjid. Maka ia memanggilnya lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sesungguhnya aku telah melakukan zina’, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya. Maka ketika ada yang memberikan saksi atas diri orang tersebut sebanyak 4 (empat) orang saksi, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Apakah anda menderita sakit jiwa?!.’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Beliau menginstruksikan, ‘Bawalah ia, lalu rajamlah dia’.”[13]          Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum setelah masa kenabian, diantaranya para khulafa’ur rasyidin berfatwa dan memutuskan hukum di masjid-masjid, dengan demikian bahwa masjid merupakan balai fatwa dan mahkamah pengadilan.          Demikian juga sebagai tempat untuk mendamaikan orang yang sedang bertikai. Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan :أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى يَا كَعْبُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَيْ الشَّطْرَ قَالَ لَقَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُمْ فَاقْضِهِ“Bahwa ia memperkarakan hutang Ibnu Abi Hadrad di Masjid, lalu suara keduanya meninggi hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengarnya, sementara beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat itu sedang di rumahnya. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar ke arah keduanya, sampai-sampai beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka tirai kamarnya, kemudian berkata, ‘Hai Ka’ab.’ Ka’ab menjawab, “Aku mendengar panggilanmu, ya Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Taruhlah ini pada hutangmu’, sambil menunjuk ke arahnya, yaitu (bantuan) separuhnya. Ka’ab berkata, ‘Sudah kulaksanakan, wahai Rasulullah.’ Belaiau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Berdirilah, lalu putuskanlah.”[14] 3. Menggagalkan Perbuatan Keji Dan Akibat Buruknya Bagi Masyarakat Muslim [15]          Ketika masjid memiliki tempat di hati masyarakat muslim, dimana orang-orang Islam sudah tidak lagi menunda-nunda kehadirannya untuk melaksanakan shalat berjama’ah, mulailah terkristalisasi keimanan di dalam hati-hati mereka, sehingga mereka cinta kepada keimanan, dan mencintai Allah dan Rasul-Nya, berbuat amal shalih. Mereka membenci kekufuran dan kefasikan, serta kemaksiatan. Shalat mereka mampu mencegah diri-diri mereka dari perbuatan keji dan mungkar serta kesewenang-wenangan. Mereka tidak melakukan kecuali yang disenangi Allah, mereka berhenti pada batasan-Nya dan mendukung kebenaran yang sejatinya.          Allah berfirman :اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿45﴾ سورة العنكبوت“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 29:45).Diantara sifat orang-orang beriman, adalah menegakkan shalat, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ ﴿71﴾ سورة التوبة“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat.” (QS. 9:71).Diantara sifat orang-orang mukmin yang mengeakkan shalat, bahwa mereka tidak menginginkan menjalarnya perbuatan keji (al-fahisyah) dan menyebarnya kemungkaran. Allah Ta’ala berfirman :إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿19﴾ سورة النور“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS.24:19).Imam al-Qurthubi –semoga dirahmati Allah Ta’ala- mengomentari firman Allah Ta’ala :إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ ﴿45﴾ سورة العنكبوت“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS.29:45).Dimaksudkan bahwa shalat fardhu yang lima waktu merupakan penggugur dosa-dosa yang terjadi di sela-sela waktu tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا“Apa pendapat kalian kalau ada sebuah sungai (mengalir) melalui pintu salah seorang kalian, dimana ia mandi dari air tersebut setiap hari sebanyak 5 (lima) kali. Apakah (masih) ada sesuatu yang tersisa dari kotoran (tubuh)nya?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada sedikitpun yang tersisa dari kotorannya.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maka demikianlah permisalan shalat fardhu lima waktu, Allah menghapus segala kesalahan-kesalahan dengan shalat fardhu yang lima itu.”[16]          Selanjutnya mengabarkan bahwa shalat dapat mencegah pelakunya dan pelaksananya dari perbuatan keji dan mungkar. Dari bacaan al-Qur`an yang dibaca di dalamnya mengandung petuah, sedang shalat menjadikan fisik orang yang shalat menjadi beraktifitas. Saat pelaku shalat masuk ke dalam mihrabnya, lalu hatinya khusyu’ dan merendahkan diri kepada Rabbnya, dan ia sadar bahwa ia sedang berdiri di hadapan-Nya, dan bahwa Dia Maha Mengetahui dan Melihatnya, dengan itu jiwanya dibaikan dan ditundukkan, serta masuk ke dalam pengawasan Allah Ta’ala, rasa takutnya terhadap-Nya tampak pada raganya, dan hampir-hampir ia tidak pernah merasakan lelah dari aktifitas shalatnya tersebut, hingga datang naungan shalat lainnya yang denganya ia kembali memasuki sebaik-baiknya keadaan (afdhal halatin), yaitu berdiri menghadap Rabbnya.[17] DAFTAR PUSTAKA1.   Al-Islam wa al-Hadharah wa Daur asy-Syabab al-Muslim, an-Nadwah al-‘Alamiyah  li asy-Syabab al-Islami (WAMY), Cet.8, th.1405H-1406H2.    Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur`an, karya al-Qurthubi.3.   Ad-Daur at-Tarbawi lil Masjid, DR. Faraghli Jad Ahmad (Majalah Asy-Syari’ah wa ad-Dirasat al-Islamiyah), edisi.6, 1406H, Rabi’ul Awwal4.   Min Qadhaya al-Fikr al-Islami, an-Nadwah al-‘Alamiyah  li asy-Syabab al-Islami (WAMY), 1406H, Cet.35.   Al-Masjid wa Dauruhu at-Ta’limi ‘Ibar al-‘Ushur min Khilal al-Halaqat al-‘Ilmiyah, Abdullah Qasim al-Wusyaili, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, 1408 H6.   Manahij at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha, Prof. Muhammad ‘Abdul Alim Mursi, bersumber dari sub Pembahasan Pengantar untuk Konferensi Islam II, di London (Bertajuk: Kaum Muslimin di Barat), 1-3, 1414 H.7.   Watsa`iq Mu`tamarat Wa Wizara` al-Auqaf Wa asy-Syu`un al-Islamiyah (Kumpulan Dokumen Konferensi-konferensi dan Kementerian Wakaf serta Urusan Islam) Kerajaan Saudi Arabiyah, Konferensi I, II, III, th.1409H.[1] HR. Muslim (Zikir, doa, taubat dan istighfar, no.2699) dan bagian dari hadits No.2700. HR. Tirmidzi (al-Qira’at, no.2945). HR. Abu Daud (Shalat, no.1455), HR. Ibnu Majah (Al-Muqaddimah, no.225). HR. Ahmad (II/252).[2] HR. Bukhari (Shalat, no.439) & I/453. HR. Muslim (Masjid-masjid dan tempat-tempat shalat, no.533), HR. Tirmidzi (Shalat, no.318), HR. Ibnu Majah (Masjid-masjid dan Jama’ah-jama’ah, No.736), HR. Ahmad, I/61, HR. Ad-Darimi (Shalat, no.1392).[3] Mengenai tema ini, silahkan dirujuk: Ad-Daur at-Tarbawi lil Masjid , DR. Faraghli Jad Ahmad (hal. 143-144); Al-Islam wa al-hadharah wa daur asy-Syabab al-Muslim (hal.540 dan setelahnya); Daur al-Masjid fi at-Tarbiyah wa al-A’dad (hal.138).[4] HR. Muslim (Masjid-masjid dan tempat-tempat shalat, no.671).[5] Lihatlah: Al-Masjid wa Dauruhu at-Ta’limi ‘Ibar al-‘Ushur min Khilal al-Halaqat al-‘Ilmiyah  (hal.15-21) dengan sedikit gubahan; Manahij at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha  (hal.6,7); Ad-Daur at-Tarbawi lil Masjid  (hal. 146-147); Daur al-Masjid fi at-Tarbiyah (hal.78); Min Qadhaya al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir (hal. 241); (HR. Muslim, no.1017)[6] Manahij at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha (hal.8); Al-Islam wa al-Hadharah wa Daur asy-Syabab al-Muslim (hal.513, 659); Ad-Daur at-Tarbawi lil Masjid (172).[7] HR. Bukhari (Jual Beli, no.2013) & II/112,114; HR. Muslim, no.649; HR. Abu Daud (Shalat, no.559); HR. Ahmad (II/252).[8] Lihat, Kumpulan Dokumen Konferensi-konferensi dan Kementerian Wakaf serta Urusan Islam (Taushiyat, muqtarihat, ad-da’wah al-islamiyah (Rekomendasi, Gagasan, Dakwah Islamiyah)), hal. 272-273.[9] Daur al-Masjid fi at-Tarbiyah (hal.109-110); Min Qadhaya al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir (hal. 222-223);[10] Manahij at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha  (hal.7); Al-Islam wa al-Hadharah wa Daur asy-Syabab al-Muslim (hal.14).[11] Manahij at-Ta’lim fi al-Masajid wa Uslub at-Tadris fiha  (hal.10)[12] Shahih al-Bukhari, XIII/156, beserta ulasannya di Fathul Qadir.[13] HR. Bukhari (Hukum-hukum, no.6747)&Shahih al-Bukhari (no.7167); HR. Muslim (Hudud, no.1691); HR. At-Tirmidzi (Hudud, no.1428); HR. An-Nasa’i (Jenazah, no.1956); HR. Abu Daud (Hudud, no.4428); HR. Ahmad, II/453.[14] HR. Bukhari (Shalat, no.445) & dalam Shahih al-Bukhari (no.457); HR. Muslim (Irigasi, no.1558); HR. An-Nasa’i (Etika Hakim, no.5408); HR. Abu Daud (Hukum Peradilan, no.3595); HR. Ibnu Majah (Hukum-hukum, no.3595); HR. Ad-Darimi (Jual Beli, 2587).[15] Daur al-Masjid fi at-Tarbiyah wa al-A’dad  (hal.117-119)[16] HR. Bukhari (Waktu-waktu Shalat, no.505); HR. Muslim (Masjid-masjid dan tempat-tempat shalat, no.667), HR. At-Tirmidzi (Permisalan-permisalan, no.2868) & (no.2516), HR. An-Nasa’i (Shalat, No.462), HR. Ahmad, II/379, HR. Ad-Darimi (Shalat, no.1183).[17] Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur`an (XIII/347-348).