الحميد
(الحمد) في اللغة هو الثناء، والفرقُ بينه وبين (الشكر): أن (الحمد)...
Dari Iyās bin Salamah, dari bapaknya, ia berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membolehkan nikah mut'ah pada tahun Auṭās (tahun 8 H) selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya."
Pembuat syariat (Allah) menganjurkan menikah untuk tujuan persatuan, kerukunan, cinta dan kasih sayang, serta membangun keluarga. Karena itu setiap tujuan atau syarat yang menyelisihi hikmah dari nikah ini maka hukumnya batil. Dari sinilah diharamkannya nikah mut’ah, yaitu seorang laki-laki menikahi seorang wanita sampai batas waktu tertentu. Pembolehan nikah mut’ah telah terjadi pada tahun perang Auṭās, yaitu pada bulan Syawal tahun 8 Hijriyah selama tiga hari saja karena kebutuhan darurat. Kemudian Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengharamkannya dengan pengharaman yang bersifat selamanya karena di dalamnya terdapat mafsadat (keburukan-keburukan) seperti tercampurnya nasab, terjadinya sewa-menyewa farji (kemaluan), dan keringnya hati dari perasaan/naluri yang sehat, serta tabiat yang lurus.