الولي
كلمة (الولي) في اللغة صفة مشبهة على وزن (فعيل) من الفعل (وَلِيَ)،...
Dari Jābir bin Abdillah -raḍiyallāhu ‘anhuma- ia berkata, “Telah sampai kepadaku sebuah hadis dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam-, lalu aku membeli seekor unta, kemudian aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam, ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais. Lalu aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, 'Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jābir sedang menunggu di pintu.' Dia (Abdullah bin Unais) bertanya, “Ibnu Abdillah?” Aku menjawab, “Iya.” Maka ia (Abdullah bin Unais) bergegas keluar sambil menyingsingkan pakaiannya lalu merangkulku dan aku pun merangkulnya. Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadis, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- tentang qisas (pembalasan di hari kiamat). Aku khawatir engkau meninggal atau aku meninggal sebelum sempat mendengarnya.” Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Seluruh manusia -atau beliau bersabda: para hamba- nanti akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhman.” Kami bertanya, “Apa itu buhman?” Beliau menjawab, “Tidak membawa apa pun.” Kemudian Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh orang yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat: “Aku adalah Al-Malik (Maharaja), Aku adalah Ad-Dayyān (Yang Maha Membalas amalan hamba). Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqisasnya, dan tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun haknya itu sebuah tamparan.” Kami bertanya, “Bagaimana caranya? (Bukankah) Kita menemui Allah -'Azzā wa Jallā- dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan dan tidak memiliki apa pun?” Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan (yang kita miliki)”
Jābir bin Abdillah Al-Anṣārī mengabarkan bahwa ia mengetahui Abdullah bin Unais telah mendengar sebuah hadis dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- yang belum ia dengar, lalu ia membeli seekor unta dan meletakkan barang bawaannya di atas unta tersebut. Kemudian ia melakukan safar selama sebulan hingga sampai di Syam, lalu ia mendatangi rumah Abdullah bin Unais, lalu ia berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Katakan kepadanya; Jābir di depan pintu.” Maka Abdulah bin Unais berkata, “Ibnu Abdillah?” Jābir menjawab, “Iya.” Lalu ia (Abdullah bin Unais) segera keluar sambil menyinsingkan bajunya karena tergesa-gesa dan mereka berdua pun berpelukan. Lantas Jābir berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau telah mendengar dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sebuah hadis tentang qisas (pembalasan atas kezaliman), aku khawatir engkau meninggal atau aku yang meninggal sebelum sempat mendengarnya. Lalu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Seluruh manusia nanti akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan dan buhman.” Kami bertanya, “Apa itu buhman?” Beliau menjawab, “Tidak membawa apa pun.” Yakni Allah mengumpulkan manusia pada hari Kiamat di satu tempat untuk menghisab mereka, memberikan balasan kepada mereka sesuai perbuatan mereka, dan pada saat itu mereka dalam keadaan telanjang lagi tidak berkhitan, sebagaimana keadaan mereka saat dilahirkan ibu-ibu mereka, mereka tidak membawa apapun dari harta dunia. Kemudian beliau bersabda, “Kemudian Allah menyeru mereka dengan suara.” Suatu seruan tidak dilakukan kecuali dengan menggunakan suara dan manusia tidak mengetahui seruan tanpa adanya suara. Jadi, kata 'suara' di sini disebutkan untuk menegaskan adanya seruan tersebut. Hal ini secara gamblang dan jelas menegaskan bahwa Allah -Ta'ālā- berbicara dengan perkataan yang bisa didengar dari-Nya dan bahwa Dia memiliki suara, akan tetapi suara-Nya tidak menyerupai suara-suara makhluk-Nya, oleh karena, itu beliau bersabda, “Orang yang jauh mendengarnya sebagaimana orang yang dekat pun mendengarnya.” Sifat ini khusus bagi suara-Nya saja, adapun suara-suara makhluk-Nya maka hanya bisa didengar oleh orang yang dekat dengannya tergantung pada kuat atau lemahnya suara tersebut. Banyak dalil yang menetapkan hal itu, di antaranya firman Allah -Ta'ālā-, “Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka, 'Bukankah Aku telah melarang kamu berdua.' Dan firman-Nya, "Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Ṭūr dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia bermunajat (kepada Kami). ” Serta firman-Nya, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), 'Datangilah kaum yang zalim itu.'” Kemudian Allah berfirman,: “Aku adalah Al-Malik (Maharaja), Aku adalah Ad-Dayyān (Yang Maha Membalas amalan hamba)” yakni bahwa seruan yang didengar oleh para hamba bisa didengar oleh orang yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat. Makna firman-Nya: “Aku adalah Al-Malik (Maharaja), Aku adalah Ad-Dayyān (Yang Maha Membalas amalan hamba)”; adalah bahwa Allah -Ta’ālā- adalah Al-Malik (Maharaja) yang di tangan-Nya kekuasaan langit dan bumi beserta isinya dan Dia juga adalah Ad-Dayyān yang memberikan balasan kepada para hamba sesuai amalan mereka; barangsiapa yang melakukan kebaikan, maka Dia membalasnya dengan yang lebih baik dari apa yang ia lakukan dan barangsiapa yang melakukan kejahatan, maka Dia membalasnya dengan apa yang berhak ia dapatkan saja. Kemudian Allah -Ta’ālā- berfirman, “Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqisasnya, dan tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun haknya itu sebuah tamparan” yakni bahwa Allah -‘Azzā wa Jallā- menghakimi di antara hamba-hamba-Nya secara adil, Dia mengambil dari orang yang zalim hak orang yang terzalimi, sehingga tidak seorang pun penghuni neraka masuk ke dalam neraka sedangkan ia masih memiliki hak dari penghuni surga hingga ia dapat mengambil haknya. Ini merupakan salah satu bentuk sempurnanya keadilan Allah karena meskipun orang kafir dan orang yang zalim itu keduanya akan masuk neraka namun mereka tidak akan pernah dizalimi, sampai-sampai jika mereka memiliki hak dari penghuni surga maka akan diambilkan darinya, demikian juga keadaannya pada penghuni surga. Lalu para ṣahabat berkata kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: Kami bertanya, “Bagaimana caranya manusia menunaikan hak-hak mereka sedangkan mereka tidak membawa apa pun dari dunia?” Maka Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan.” yakni sesungguhnya pemenuhan/penunaian hak-hak tersebut terjadi dengan cara orang yang dizalimi mengambil kebaikan-kebaikan orang yang menzaliminya, jika kebaikan-kebaikan orang yang zalim tersebut telah habis maka diambil dari kejelekan-kejelekan orang yang terzalimi itu lalu ditaruh pada (catatan) kejelekan-kejelekan orang yang zalim itu, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka sebagaimana disebutkan dalam hadis lain.