البر
البِرُّ في اللغة معناه الإحسان، و(البَرُّ) صفةٌ منه، وهو اسمٌ من...
Dari Jābir -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, “Kami pernah mengadakan safar, lalu ada seorang sahabat kami yang tertimpa batu hingga kepalanya terluka, lalu dia mimpi basah dan bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian memandang ada rukhsah bagiku untuk bertayamum?” Mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak mendapatkan keringanan selagi engkau mampu menggunakan air.” Diapun mandi lalu meninggal dunia. Tatkala kami datang kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, beliau dikabarkan dengan peristiwa tadi, kemudian beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka, mengapa mereka tidak bertanya bila tidak tahu karena obat kejahilan adalah bertanya, sesungguhnya cukup baginya bertayamum dan hendaknya dia membalut lukanya dengan kain lalu mengusap bagian atasnya dan membasuh seluruh badannya.”
Jābir -raḍiyallāhu 'anhu- mengabarkan bahwa mereka pernah mengadakan safar, lalu salah seorang dari mereka tertimpa batu hingga melukai kepalanya, lalu dia mimpi basah dan bertanya kepada para sahabatnya tentang hukum dibolehkannya bertayamum sebagai pengganti dari membasuh anggota wudu. Mereka menjawab, "Kami tidak melihat ada keringanan bagi kamu untuk bertayamum jika kamu mampu menggunakan air", yakni bahwa dirinya tidak diperbolehkan untuk bertayamum dalam kondisi tersebut; karena ketersediaan air. Adapun keringanan bertayamum adalah bagi orang yang tidak mendapati air, sedangkan dalam kondisi air tersedia maka tidak ada keringanan bagimu untuk bertayamum. Kemudian dia mandi dan lukanya semakin parah terkena air, lalu dia -raḍiyallāhu 'anhu- meninggal dunia. Tatkala mereka tiba di Madinah, merekapun menceritakan kisah tersebut kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, lalu beliau mencela mereka dengan sabdanya, "mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka", yakni: Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mencela mereka; karena mereka telah menjadi penyebab kematiannya karena fatwa mereka yang salah. "Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak tahu", yakni: yang wajib mereka lakukan seharusnya adalah bertanya terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa dalam berfatwa; karena di dalamnya terkandung sesuatu yang dapat membahayakan orang lain yaitu apa yang terjadi. "sesungguhnya obat kebodohan itu dengan bertanya." Al-'aiyyu adalah kebodohan, dan maknanya adalah: Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak tahu; karena obat kebodohan itu adalah bertanya. Jika seseorang tidak mengetahui hukum syar'i, maka obat ketidaktahuan itu adalah bertanya, dan tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang dapat mendatangkan bahaya atau kebinasaan bagi orang lain. Kemudian Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjelaskan kepada mereka tentang hukum syari'at yang berkaitan dengan permasalahan tersebut dengan sabdanya, "sesungguhnya dia hanya cukup bertayamum saja dan hendaknya dia membalut lukanya dengan kain lalu mengusap bagian atasnya dan membasuh seluruh badannya", inilah yang seharusnya dia lakukan yang sesuai dengan pokok syariat. Adapun mengharuskannya mandi junub dengan menanggung konsekuensi yang ditimbulkannya berupa bahaya bagi tubuhnya, kematian atau keterlambatan kesembuhannya, maka semua ini menyelisihi pokok-pokok syari'at. Berdasarkan hal itu, maka orang yang sedang terluka boleh mengambil rukhsah untuk membasuh seluruh tubuhnya dengan air dan cukup mengusap di atas balutan lukanya. Adapun bertayamum dalam kondisi memakai pembalut luka, maka hal ini tidak disyari'atkan; karena mewajibkan dua kali bersuci untuk satu anggota tubuh adalah menyelisihi kaidah-kaidah syari'at. Dan hadis ini dapat dimaknai–wallāhu a'lam- bahwa balutan luka itu melebihi kebutuhan, dan membukanya akan menyulitkan atau dapat membahayakan; oleh sebab itu disyariatkan untuk mengusap di atas balutan luka, atau dapat dimaknai bahwa yang terluka tepat pada anggota wudu, sehingga air tidak mungkin sampai kepadanya, maka digantilah dengan tayamum sebagai ganti dari membasuh anggota wudu tersebut.