البحث

عبارات مقترحة:

الحافظ

الحفظُ في اللغة هو مراعاةُ الشيء، والاعتناءُ به، و(الحافظ) اسمٌ...

المقيت

كلمة (المُقيت) في اللغة اسم فاعل من الفعل (أقاتَ) ومضارعه...

الطيب

كلمة الطيب في اللغة صيغة مبالغة من الطيب الذي هو عكس الخبث، واسم...

Dari Mu'āwiyah bin Ḥakam As-Sulami -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, "Ketika aku salat bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, tiba-tiba salah seorang dari jamaah bersin, maka aku mengatakan, "Yarḥamukallāh (semoga Allah merahmatimu). " Maka orang-orang memandangiku dengan mata mereka. Aku berkata, "Ibuku kehilangan anaknya, kenapa kalian memandangiku?" Mereka memukul-mukulkan tangan ke paha. Ketika aku mengerti mereka menyuruhku diam, maka aku hanya diam. Ketika Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- selesai salat, ayah dan ibuku menjadi tebusannya, aku tidak pernah melihat seorang guru sebelum dan sesudah beliau yang lebih bagus cara mengajarnya dibanding beliau. Demi Allah, beliau tidak menghardikku, tidak memukulku dan tidak mecaciku. Beliau bersabda, "Sesungguhnya salat ini tidak sepantasnya terdapat ucapan manusia di dalamnya. Sesungguhnya ucapan yang pantas hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur'ān." Atau sebagaimana disabdakan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku baru saja meninggalkan kejahiliahan dan Allah telah mendatangkan Islam. Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang mendatangi para dukun." Beliau bersabda, "Jangan mendatangi mereka!" Ia berkata, "Sebagian kami ada orang-orang yang bertaṭayyur." Beliau bersabda, "Itu perasaan yang mereka dapati dalam dada mereka, maka jangan sampai menghalangi mereka -Ibnu Shabbah mengatakan, jangan menghalangi kalian- (melakukan sesuatu yang sudah diinginkan). " Aku berkata, "Sebagian kami ada orang yang menggaris." Beliau bersabda, "Seorang Nabi dari para Nabi juga menggaris. Siapa yang sesuai garisnya maka itulah (yang dibolehkan). " Ia berkata, "Aku memiliki seorang budak wanita yang bertugas menggembalakan dombaku di arah Uhud dan Jawwāniyah. Di suatu hari, aku melihat ternyata srigala telah memangsa seekor dombanya. Aku seorang laki-laki keturunan Adam, aku marah sebagaimana mereka marah, tapi aku menamparnya dengan keras." Aku mendatangi Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan beliau menganggap itu satu kesalahan besar yang telah aku lakukan. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku memerdekakannya?" Beliau bersabda, "Bawa ia ke hadapanku." Aku pun membawanya menemui beliau. Beliau menanyainya, "Di manakah Allah?" Ia menjawab, "Di langit." "Siapakah aku?" Ia menjawab, "Engkau utusan Allah." Beliau bersabda, "Merdekakan ia, sungguh ia adalah wanita Mukminah!"

شرح الحديث :

Mu'āwiyah bin Ḥakam As-Sulami -raḍiyallāhu 'anhu- mengabarkan peristiwa yang terjadi ketika ia salat bersama Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di salah satu salat jamaah. Ketika ia mendengar seseorang bersin lalu memuji Allah, maka ia -raḍiyallāhu 'anhu- bersegera mengucapkan "yarḥamukallāh", sesuai perintah asal. Yakni sabda Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Apabila salah seorang dari kalian bersin lalu mengucapkan "alḥamdulillāh" hendaklah saudara atau kawannya mengucapkan kepadanya "yarḥamukallāh". Mu'āwiyah -raḍiyallāhu 'anhu- tidak tahu bahwa anjuran mendoakan orang yang bersih hanya berlaku di luar salat. “Maka orang-orang memandangiku dengan mata mereka.” Maksudnya, mereka berisyarat kepadanya dengan mata tanpa berbicara. Mereka menatapnya dengan tatapan peringatan. Namun Mu'āwiyah -raḍiyallāhu 'anhu- tidak mengetahui sebab pengingkaran mereka ini. Sehingga ia justru mengucapkan, “Ibuku kehilangan anaknya”. Artinya, ibuku kehilangan diriku karena aku binasa. “Kenapa kalian”, yakni apa keadaan dan urusan kalian? “Kalian memandangiku”, yakni kenapa kalian menatapku dengan tatapan marah. “Mereka memukul-mukulkan tangan ke paha”, yakni mereka menambah pengingkaran kepadanya dengan memukulkan tangan ke paha. Maka ia paham bahwa mereka ingin ia diam dan tidak bicara. Maka ia diam. “Ketika aku mengerti mereka menyuruhku diam, maka aku diam”. Maksudnya, ketika aku mengerti mereka memerintahku diam, aku heran akan kebodohanku terhadap keburukan yang telah aku lakukan dan sikap berlebihan mereka dalam mengingkariku, dan aku ingin membantah mereka. Namun aku diam demi melaksakan perintah mereka. Sebab mereka lebih tahu dariku. Aku tidak berbuat menuruti kemarahanku dan aku tidak menanyakan sebab perintah diam. “Ketika Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah salat” yakni, beliau selesai dari salat. “Beliau (ditebus) dengan ayah dan ibuku”, artinya beliau ditebus dengan ayah dan ibuku. Ini bukan sumpah, tapi ungkapan penebusan dengan ayah dan ibu. “Aku tidak pernah melihat seorang guru sebelum dan sesudah beliau yang lebih bagus cara mengajarnya dibanding beliau.” Karena Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak mencela dan tidak membentaknya. Tapi beliau menjelaskan hukum syar`i dengan cara yang gampang diterima dan dimengerti. “Demi Allah, beliau tidak menghardikku”, yakni beliau tidak membentakku dan tidak bicara kasar padaku. “Tidak memukulku”, yakni tidak menyakitiku dengan pukulan karena kesalahan yang telah aku lakukan. “Dan tidak mencaciku”, yakni tidak bicara kasar padaku, tetapi beliau menjelaskan padaku hukum syar`i dengan lemah lembut. Di mana beliau bersabda, “Sesungguhnya salat ini tidak sepantasnya terdapat ucapan manusia di dalamnya. Sesungguhnya ucapan yang pantas hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Alquran.” Maksudnya, dalam salat tidak diperbolehkan ucapan manusia yang merupakan pembicaraan di antara mereka. Pembicaraan seperti ini dibolehkan di awal Islam, kemudian dihapus. Yang boleh dikatakan dalam salat hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur'ān. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku masih baru saja meninggalkan kejahiliahan”. Yakni, masih dekat dengan masa jahiliah. Kata jahiliah diungkapkan untuk masa sebelum datangnya syariat. Mereka disebut jahiliah karena banyaknya kebodohan dan perbuatan keji mereka. “Dan Allah telah mendatangkan Islam” artinya, aku telah beralih dari kekufuran pada Islam, namun aku belum mengetahui hukum-hukum agama. “Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang mendatangi dukun-dukun” maksudnya, di antara sahabatnya ada orang yang senang mendatangi dukun dan menanyakan permasalahan gaib yang akan terjadi di masa akan datang. “Beliau bersabda, “Jangan mendatangi mereka!” Larangan mendatangi dukun-dukun karena mereka ini bicara tentang masalah-masalah gaib yang terkadang sebagiannya kebetulan benar, sehingga dikawatirkan orang-orang terperdaya dengan sebab ini. Karena, para dukun itu sering kali mengacaukan perkara syariat kepada manusia. Banyak hadis sahih yang melarang mendatangi dukun, membenarkan perkataan mereka, dan mengharamkan upah yang mereka terima. “Ia berkata, "Sebagian kami ada orang-orang yang bertaṭayyur.” Taṭayyur adalah merasa sial karena sesuatu yang dillihat, didengar, waktu, maupun tempat. Bangsa Arab dahulu dikenal suka taṭayyur. Hingga seandainya seorang dari mereka ingin melakukan kebaikan kemudian ia melihat burung terbang ke kanan atau ke kiri, sesuai keyakinan yang dikenal di kalangan mereka, dia akan menangguhkan perkara yang ingin dikerjakannya ini. Di antara mereka ada orang yang apabila mendengar suara atau melihat seseorang ia merasa sial. Ada orang yang meyakini kesialan bulan Syawal untuk urusan pernikahan, ada yang meyakini kesialan hari Rabu atau bulan Safar. Semua ini telah dibatalkan syariat karena bahayanya terhadap manusia baik akal, pemikiran, maupun perilaku. Dan sikap seseorang yang tidak mempedulikan perkara-perkara ini disebut tawakal (berserah diri) kepada Allah. Beliau bersabda, "Itu perasaan yang mereka dapati dalam dada mereka, maka jangan sampai menghalangi mereka”. Yakni, taṭayyur adalah sesuatu yang dengan sendirinya muncul dalam jiwa mereka, sehingga mereka tidak layak dicela karena itu tidak mereka upayakan dan tidak dibebankan. Akan tetapi, janganlah mereka membatalkan pelaksanaan urusan mereka gara-gara taṭayyur ini. Inilah yang bisa mereka lakukan dan dapat mereka usahakan sehingga menjadi sesuatu yang dibebankan. Jadi, Nabi -'alaihi aṣ-salātu wa as-salām- melarang mereka menuruti perasaan sial (taṭayyur) dan mengurungkan aktifitas gara-gara itu. Banyak hadis sahih terkait larangan taṭayyur. Taṭayyur yang dilarang di sini dalam artian mengamalkannya, bukan apa yang dirasakan sesorang dalam dirinya tanpa melakukan tuntutannya sesuai keyakinan mereka. “Aku berkata, "Sebagian kami ada orang yang menggaris." Menggaris dalam pengertian bangsa Arab adalah seseorang mendatangi peramal, dan di hadapannya ada seorang anak kecil. Peramal itu memerintahkan anak tadi membuat garis yang banyak di atas pasir. Kemudian memerintahnya menghapus dua, dua. Kemudian peramal itu melihat garis yang tersisa. Jika yang tersisa adalah genap maka itu pertanda keberuntungan dan kejayaan, dan jika yang tersisa ganjil itu pertanda kegagalan dan keputus asaan. “Beliau bersabda, "Seorang Nabi dari para Nabi juga menggaris”, artinya ia membuat garis-garis seperti garis-garis di atas pasir, lalu ia mengetahui perkara dengan firasat melalui media garis-garis tersebut. Dikatakan, Nabi ini adalah Idris atau Daniel -'alaihima aṣ-salātu wa as-salām-. “Siapa yang sesuai garisnya”, yakni garis Nabi tersebut -'alaihi aṣ-salātu wa as-salām-, “maka itulah”. Artinya, siapa sesuai garis Nabi itu maka itu dibolehkan. Akan tetapi kita tidak bisa mengetahui dengan yakin akan kesesuaian ini sehingga tidak dibolehkan. Intinya, perbuatan tersebut haram, karena tidak dibolehkan kecuali yakin sesuai dengan garis Nabi itu, sementara kita tidak bisa meyakininya. Bisa jadi perbuatan ini telah mansukh (dihapus) dalam syariat kita. Mungkin juga pembolehan ramalan melalui garis tersebut menjadi tanda kenabian Nabi itu dan hal itu telah selesai, sehingga kita dilarang melakukannya. Jadi hadis ini menunjukkan haramnya beraktifitas berdasarkan ramalan dengan media garis, bukan menunjukkan kebolehannya. Selain juga menunjukkan batil dan rusaknya cara manusia dalam meramal. Karena, kesesuaian itu mengharuskan mengetahuinya, dan pengetahuan ini terjadi dengan salah satu dari dua jalan: Pertama: nas yang tegas dan sahih tentang penjelasan metode ilmu ramal garis ini. Kedua: periwayatan secara mutawatir dari zaman Nabi tersebut hingga zaman Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Dan kedua jalan tersebut tidak ada. Penting dimengerti dalam masalah ini, bahwa para Nabi tidak mengklaim mengetahui perkara gaib, dan mereka tidak memberitahukan pada manusia bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Perkara gaib yang mereka sampaikan pada manusia semata-mata berasal dari wahyu Allah, sehingga mereka tidak mengalamatkanya pada diri mereka. Sebagaimana bunyi firman Allah, “(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27). Sebab perkara gaib itu termasuk perkara yang hanya diketahui Allah. Maka tak seorang pun yang mengklaim mengetahuinya melainkan dia berarti telah mengklaim menyandang sifat-sifat rubūbiyyah. Inilah yang dilakukan para pelaku “profesi ini”. Lantaran ini, kebohongan mereka nampak jelas melalui pengakuan bahwa Nabi yang mulia ini mengajari mereka. Ia menuturkan, "Aku memiliki seorang budak wanita yang bertugas menggembalakan dombaku di arah Uhud dan Jawwāniyah.” Maksudnya, ia memiliki budak wanita yang menggembalakan dombanya di tempat yang dekat dengan gunung Uhud. “Di suatu hari, aku melihat ternyata srigala telah memangsa seekor dombanya.” Yakni, ia mengetahui serigala telah menerkam seekor dombanya. Domba ini milik Mu'āwiyah, tapi ia mengatakan “dombanya” karena budak wanita itu yang memeliharanya. “Dan Aku seorang laki-laki keturunan Adam, aku marah sebagaimana mereka marah.” Al-Asaf artinya marah. Maksudnya, aku marah kepadanya karena serigala berhasil memangsa seekor domba. Aku ingin memukulnya dengan pukulan keras sesuai tingkat kemarahan. “Tapi aku hanya menamparnya.” Yakni, aku tidak memukulnya dengan keras, tapi aku sekedar menamparnya. "Lalu aku mendatangi Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan beliau menganggap itu satu kesalahan besar yang telah aku lakukan.” Yakni, setelah Mu'āwiyah bin Ḥakam menampar budak wanita tersebut, ia datang pada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan menceritakan peristiwa itu pada beliau. Ternyata beliau menganggap besar perkara tamparan tersebut. Manakala Mu'āwiyah bin Ḥakam As-Sulami -raḍiyallāhu 'anhu- melihat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak suka perbuatannya itu dan meyayangkannya, ia berkata, “Aku berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku memerdekakannya?" Yakni, aku membebaskannya dari perbudakan sebagai balasan pukulanku padanya. “Beliau bersabda, “Bawa ia ke hadapanku.” Aku pun membawanya menemui beliau. Beliau menanyainya, “Di mana Allah?” yakni, di manakah sesembahan yang berhak disembah yang menyandang sifat-sifat sempurna. Dalam riwayat lain, “Di mana Rabbmu?” Melalui pertanyaan ini, Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ingin memastikan bahwa wanita ini bertauhid, sehingga beliau berbicara kepadanya dengan kalimat yang dapat dimengerti maksudnya. Sebab tanda orang yang bertauhid adalah meyakini Allah berada di langit. “Ia menjawab, “Di langit.” Maksud di langit adalah di tempat tinggi dan bahwa Allah di atas segala sesuatu dan di atas 'Arsy-Nya yang merupakan atap semua makhluk. “Beliau bertanya, “Siapa aku?” Ia menjawab, “anda Rasul Allah.” Beliau bersabda, “Merdekakanlah ia, ia seorang wanita Mukminah.” Ketika wanita ini mempersaksikan ketinggian Allah -Ta'ālā- dan kerasulan beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- beliau memerintahkan supaya ia dimerdekakan. Karena hal itu bukti keimanannya dan kebersihan keyakinannya.


ترجمة هذا الحديث متوفرة باللغات التالية