المؤمن
كلمة (المؤمن) في اللغة اسم فاعل من الفعل (آمَنَ) الذي بمعنى...
Dari Sa'īd bin Jubair ia berkata, Aku berkata kepada Ibnu Abbas, "Sesungguhnya Nauf Al-Bakāli mengklaim bahwa Musa (yang bersama Khiḍir) bukanlah Musa (Nabi) Bani Israil, namun dia adalah Musa yang lain." Maka dia (Ibnu Abbas) berkata, "Musuh Allah itu berdusta." Ubay bin Ka'ab menceritakan kepadaku dari Nabi -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil, kemudian beliau ditanya, “Siapa orang yang paling berilmu?” Nabi Musa menjawab, “Akulah orang yang paling berilmu.” Allah lalu menegurnya karena ia tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya (ia tidak menjawab bahwa Allah-lah Yang Maha Mengetahui). Kemudian Allah berfirman kepada Nabi Musa, “Sesungguhnya di pertemuan dua laut sana ada hamba-Ku yang lebih berilmu daripada kamu.” Nabi Musa bertanya, “Ya Rabb, bagaimana aku bisa bertemu dengannya.” Allah berfirman, “Bawalah seekor ikan di dalam keranjang. Jika ikan itu lepas, di situlah hamba-Ku itu berada.” Kemudian Nabi Musa pergi dengan ditemani oleh pelayannya yang bernama Yūsya’ bin Nun dan keduanya membawa seekor ikan di dalam keranjang. Sesampainya di sebuah batu karang besar, mereka berdua berbaring dan tidur. Maka ikan yang mereka bawa itu lepas dari keranjang, kemudian melompat ke laut, dan hal ini membuat Nabi Musa dan pelayannya heran (setelah mengetahuinya). Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan pada sisa malam yang masih ada hingga tiba pagi hari (tanpa menyadari hilangnya ikan tersebut). Ketika pagi harinya, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” Musa tidaklah merasakan keletihan kecuali setelah melewati tempat yang diperintahkan untuk didatangi. Muridnya kemudian berkata kepadanya, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, dan tidak ada yang membuatku lupa untuk mengingatnya kecuali setan.” Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Ketika mereka sampai di batu besar itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyelimuti dirinya dengan kain atau terselimuti dengan kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Kemudian Khiḍir berkata, “Bagaimana bisa ada salam di negerimu?” Musa berkata, “Aku Musa.” Khiḍir berkata, “Apakah Musa (Nabi) Bani Israil?” Ia menjawab, “Ya.” Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” Khiḍir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku, wahai Musa! Sesungguhnya aku memiliki ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya, demikian pula engkau memiliki ilmu yang Dia ajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinya.” Musa berkata, “Engkau akan mendapatiku -insya Allah- sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan membangkang perintahmu.” Keduanya pun pergi berjalan di pinggir laut, sedang mereka berdua tidak memiliki perahu. Lalu ada sebuah perahu yang melintasi mereka berdua, maka keduanya berbicara dengan penumpangnya agar mengangkut mereka berdua dan ternyata diketahui (oleh para penumpangnya) bahwa yang meminta itu adalah Khiḍir, maka mereka pun mengangkut keduanya tanpa upah. Tiba-tiba ada seekor burung pipit yang turun ke tepi perahu kemudian mematuk sekali atau dua kali patukan ke laut. Khiḍir berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu yang berasal dari Allah tidak lain seperti patukan burung ini ke laut (tidak ada apa-apanya di hadapan ilmu Allah), lalu Khiḍir mendatangi salah satu papan (dinding) perahu kemudian mencabutnya.” (Melihat keadaan itu) Musa berkata, “Mereka ini kaum yang telah membawa kita tanpa imbalan, namun engkau lubangi perahu mereka agar penumpangnya tenggelam?”. Khiḍir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?.” Musa berkata, “Janganlah engkau hukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau bebankan aku perkara yang sulit!” Kejadian pertama ini terjadi karena Musa lupa. Lalu keduanya melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba ada seorang anak yang sedang bermain dengan anak-anak yang lain, kemudian Khiḍir memegang kepalanya dari atas, lalu mencopot kepala tersebut dengan tangannya. Musa berkata, “Apakah engkau membunuh satu jiwa yang bersih bukan karena ia membunuh orang lain?” Khiḍir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?” [Ibnu 'Uyainah berkata, "Teguran Khiḍir (yang kedua ini) lebih tegas." Keduanya pun melanjutkan perjalanan sehingga ketika mereka sampai ke penduduk suatu kampung, keduanya meminta agar penduduk tersebut menjamu mereka, namun mereka tidak mau menjamu keduanya. Lalu keduanya mendapatkan rumah yang hampir roboh di kampung itu, maka Khiḍir menegakkannya, Khiḍir melakukannya dengan tangannya. Musa pun berkata, “Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” Maka Khiḍir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” Nabi -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Semoga Allah merahmati Nabi Musa, kita benar-benar mengharapkan seandainya ia bisa bersabar agar bisa dikisahkan kepada kita semua perkara yang terjadi di antara mereka berdua."
Sa'īd bin Jubair berkata bahwa dia memberitahu Ibnu Abbas bahwa seseorang bernama Nauf Al-Bakāli mengklaim bahwa Musa yang bersama Khiḍir bukanlah Musa yang diutus kepada Bani Israil, namun dia adalah Musa yang lain. Maka Ibnu Abbas berkata, “Musuh Allah telah berdusta.” Ucapan ini beliau ucapkan sebagai teguran keras dan peringatan, bukan celaan terhadap Nauf karena Ibnu Abbas mengatakan hal itu dalam keadaan marah, dan kebanyakan ungkapan kemarahan itu terlontar bukan sesuai makna hakikinya, adapun penyematan kata dusta kepadanya dikarenakan ia mengatakan sesuatu yang menyelisihi fakta serta hal itu tidak berarti ia sengaja berdusta. Kemudian Ibnu Abbas berdalil atas kedustaan Nauf bahwa Ubay bin Ka’ab telah menceritakan dari Nabi -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- bahwa Musa berdiri menyampaikan khutbah di hadapan Bani Israil, lalu seseorang bertanya kepadanya, “Siapa manusia yang paling berilmu?” Musa menjawab, “Aku manusia yang paling berilmu.” Ini diucapkan oleh Musa -‘alaihis-salām- sesuai dengan keyakinannya, maka Allah -‘Azzā wa Jallā- menegurnya karena tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya dan tidak mengatakan, “Allah Yang Maha Mengetahui.” Lantas Allah -Ta’ālā- mewahyukan kepadanya bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang bernama Khiḍir di tempat pertemuan dua lautan, dia lebih berilmu darimu. Musa pun berkata, “Wahai Rabb, bagaimanakah cara untuk menemuinya?” Allah berkata kepadanya, “Bawalah seekor ikan di dalam keranjang, jika ikan itu lepas maka engkau akan menemukan Khiḍir di sana. Lalu Musa berangkat bersama seorang pembantunya yang bernama Yūsya’ bin Nūn dan mereka membawa seekor ikan di dalam keranjang sebagaimana yang Allah perintahkan. Hingga ketika mereka berada di sebuah batu besar di pesisir pantai, mereka berdua merebahkan kepala mereka di atas tanah dan tertidur. Lalu ikan itu keluar dari dalam keranjang dan mengambil jalan (melompat) ke laut, lalu Allah menahan aliran air pada tempat lewatnya ikan itu sehingga menjadi seperti jalan (menyerupai jembatan). Dihidupkannya ikan itu dan ditahannya aliran air tersebut hingga menjadi sebuah jalan, membuat takjub Musa dan pembantunya (setelah mereka menyadarinya suatu saat nanti.) Lalu mereka melanjutkan sisa perjalanan mereka sehari semalam. Tatkala pagi menjelang, Musa berkata kepada pembantunya, “Bawakanlah makanan kita, sungguh kita capek dengan perjalanan ini. Musa -‘alaihis-salām- tidak merasakan lelah hingga dia melewati tempat yang diperintahkan kepadanya, maka ia pun merasa lapar dan letih. Lalu pembantunya berkata kepadanya, “Sesungguhnya ketika kita berada di batu besar tadi aku telah kehilangan ikan itu.” Lantas Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari karena itu adalah tanda keberadaan Khiḍir. Lalu keduanya kembali ke jalan yang mereka datangi sebelumnya sambil mengikuti jejak mereka berdua. Tatkala mereka tiba di batu besar itu tiba-tiba terdapat seorang laki-laki yang menyelimuti dirinya dengan pakaian/kain, lalu Musa mengucapkan salam kepadanya, maka Khiḍir berkata, “Bagaimana bisa ada salam di negerimu?” yakni apakah di negeriku ini ada ucapan salam? Ini adalah kata tanya yang bermakna ‘istib’ād (penafian) yang menunjukkan bahwa penduduk negeri tersebut belum ada pada saat itu yang beragama Islam. Lalu Musa berkata kepada Khiḍir, “Saya adalah Musa.” Maka Khiḍir berkata kepadanya, “Engkau Musa yang diutus kepada Bani Israil?” Musa pun menjawab, “Iya.” Ini menunjukkan bahwa para Nabi dan orang-orang selain mereka tidak mengetahui perkara gaib kecuali apa yang Allah -Ta’ālā- ajarkan kepada mereka, karena seandainya Khiḍir mengetahui setiap perkara gaib pasti dia akan mengenal Musa sebelum menanyakannya. Inilah syāhid (poin pendalilan) yang karenanya Ibnu Abbas menyebutkan hadis ini. Kemudian Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu?” Hal ini tentunya tidak menafikan derajat kenabiannya dan keadaannya sebagai pembawa syariat untuk belajar dari selain dirinya selagi itu bukan merupakan syarat (pokok ajaran) di dalam bab-bab agama karena sesungguhnya Rasul seyogyanya lebih berilmu daripada orang yang ia diutus kepadanya dalam perkara risalahnya berupa pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, bukan dalam seluruh perkara secara mutlak. Lalu Khiḍir menjawab dengan ucapannya, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku karena sebenarnya aku akan melakukan perkara-perkara yang tampaknya kemungkaran namun hakekatnya engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” Kemudian ia berkata, “Wahai Musa, sesungguhnya aku memiliki ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya, demikian pula engkau memiliki ilmu yang Dia ajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinya.” Maka Musa berkata kepadanya, “Engkau akan mendapatiku -insya Allah- sebagai orang yang sabar bersamamu, tidak akan mengingkarimu dan aku tidak akan pernah mendurhakai perintahmu.” Keduanya pun pergi berjalan di pinggir laut, sedang mereka berdua tidak memiliki perahu, lalu ada sebuah perahu yang melintasi mereka berdua, maka keduanya berbicara dengan para pemilik perahu itu agar mengangkut mereka berdua dan ternyata para pemilik perahu itu tahu bahwa yang meminta itu adalah Khiḍir, maka mereka pun mengangkut keduanya tanpa upah. Tiba-tiba ada seekor burung pipit lalu hinggap di tepi perahu kemudian mematuk sekali atau dua kali patukan ke laut. Lalu Khiḍir berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu yang berasal dari Allah tidak lain seperti patukan burung ini ke laut (tidak ada apa-apanya di hadapan ilmu Allah). Lalu Khiḍir mendatangi papan di antara papan-papan perahu kemudian mencabutnya dengan kapak hingga perahu itu berlubang dan air pun masuk. Lantas Musa -‘alaihis-salām- berkata kepadanya, “Mereka adalah orang-orang yang telah membawa kita tanpa meminta upah, namun engkau malah melubangi perahunya agar penumpangnya tenggelam!” Khiḍir berkata memperingatkannya dengan apa yang ia katakan sebelumnya, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?” Musa berkata, “Janganlah engkau hukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau bebankan padaku perkara yang sulit, karena hal tersebut mempersulitku untuk mengikutimu!” Untuk masalah yang pertama ini, sebabnya adalah karena Musa -‘alaihis-salām- lupa. Selanjutnya keduanya pun melanjutkan perjalanan setelah keluar dari perahu itu, tiba-tiba ada seorang anak yang sedang bermain dengan anak-anak yang lain, kemudian Khiḍir memegang kepala anak itu, lalu ia menarik kepalanya dengan tangannya (mencekiknya). Maka Musa pun berkata kepada Khiḍir -‘alaihis-salām-, “Apakah engkau membunuh satu jiwa yang suci dari dosa-dosa, kita tidak pernah melihatnya melakukan satu dosa yang menyebabkan ia harus dibunuh atau ia membunuh orang lain sehingga ia pun harus dibunuh?!” Khiḍir berkata kepada Musa -‘alaihis-salām-, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?” Pada lafal teguran kali ini ada tambahan kata “la-ka (kepadamu)” sebagai tambahan penegasan dalam teguran. Oleh karena itu Sufyan bin 'Uyainah yaitu salah satu perawi hadis ini berkata, “Ini (teguran kedua Khiḍir) lebih tegas.” Ia berdalil dengan tambahan kata "la-ka" pada lafal teguran kedua ini. Keduanya pun melanjutkan perjalanan sehingga ketika mereka sampai ke penduduk suatu kampung, keduanya meminta kepada mereka makanan, namun mereka menolak untuk menjamu keduanya, sehingga mereka tidak mendapatkan jamuan di kampung itu dan tidak pula mendapati tempat menginap. Lalu keduanya menemukan rumah yang hampir roboh di kampung tersebut, maka Khiḍir mengisyaratkan dengan tangannya lalu menegakkannya. Musa pun berkata kepada Khiḍir, “Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu sehingga bisa menjadi bekal buat perjalanan kita.” Maka Khiḍir berkata kepada Musa -‘alaihis-salām-, “Interupsi ketiga ini menjadi sebab perpisahan antara aku dan engkau.” Nabi -șallallāhu ‘alaihi wa sallam- lalu bersabda, “Semoga Allah merahmati Musa, sungguh kita benar-benar berkeinginan dan berharap seandainya ia bisa bersabar sehingga kita dapat menambah pengetahuan tentang ilmu dan hikmah yang terjadi di antara mereka berdua.”