الحكيم
اسمُ (الحكيم) اسمٌ جليل من أسماء الله الحسنى، وكلمةُ (الحكيم) في...
Dari Urwah, dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anha- bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mencium salah seorang istrinya lalu beliau pergi salat dan tidak berwudu (lagi). " Urwah berkata, Aku bertanya, "Siapakah dia selain engkau?" Aisyah tertawa."
Dalam hadis ini Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- mengabarkan bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mencium salah seorang istrinya lalu pergi salat tanpa berwudu. Selanjutnya Urwah -raḍiyallāhu 'anhu- yang meriwayatkan hadis ini dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- mengerti hal ini dan mengetahui bahwa istri yang disamarkan namanya dalam hadis ini adalah Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-. Saat Urwah memberitahukan hal itu kepada Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-, ia pun tertawa sebagai pengakuan atas kebenaran pemahamannya. "Dan tidak berwudu (lagi). " Ini adalah hukum asalnya, yaitu bahwa sentuhan seorang suami kepada istrinya atau ciumannya kepadanya secara mutlak tidak membatalkan wudu, baik dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat. Sebab, pada dasarnya adalah utuhnya wudu dan selamatnya taharah. Karena itu, tidak boleh mengatakan bahwa taharah menjadi batal dengan sesuatu kecuali ada dalil penopang yang tidak ada penentangnya. Di sini tidak ada dalil penopang yang menunjukkan secara mutlak batalnya wudu dengan menyentuh perempuan. Asalnya adalah tetap suci (taharah). Adapun firman Allah -Ta'ālā-, "atau menyentuh perempuan." Penafsiran yang benar bahwa maksud menyentuh di sini adalah berhubungan badan. Demikian juga bacaan lainnya, "Au Lamastum An-Nisā`." Maksudnya adalah berhubungan intim, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas dan sekelompok ahli ilmu. Sebab, ciuman seorang suami kepada istrinya biasanya dengan syahwat. Dengan demikian, hadis ini menjadi dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat tidak membatalkan wudu, kecuali jika disertai keluarnya mani. jika itu terjadi maka wudunya batal disebabkan keluarnya mani.